Mengenal Wurry Oene

Mengenal Wurry Oene | seperti dituturkan kepada Agoes Widhartono

HIDUP di tengah keluarga pecinta musik, merupakan anugerah luar biasa bagi Wurry Oene. Betapa tidak. Sejak usia kanak-kanak, dia sudah akrab dengan irama musik dan seni bernyanyi. Terus mengasah talenta, rajin berlatih. Berbagai lomba menyanyi, sudah diakrabinya sejak masa kanak-kanak, ketika duduk di bangku sekolah dasar (SD).

Kini, nama populer Wurry Oene, memang menenggelamkan nama yang diberikan kedua orangtuanya, Endang Wuriningsih. Lahir di Yogyakarta 9 September 1968, bungsu dari 10 bersaudara, putri pasangan Sersini dan Moedjiran. Sang ibu adalah penyanyi keroncong. Sedangkan ayahnya seorang perwira polisi dengan pangkat terakhir letnan kolonel.

Wurry kecil menyaksikan sang ayah yang mempunyai grup keroncong milik kepolisian. Lengkap dengan peralatan musik. Setiap kali latihan keroncong, para tokoh musik keroncong Yogya berkumpul di rumahnya. Dengan demikian, nada dan irama instrumen musik, benar-benar sudah tidak asing bagi Wurry sejak masa kanak-kanak.

Talenta mengalir deras di dalam dirinya. Tak heran, dia juga sudah gemar menyanyi sejak kecil. Ibunda tercinta, Sersini (wafat dalam usia 87 tahun pada 2015) dikenal sebagai penyanyi keroncong yang mumpuni. Sedangkan sang ayah, Moedjiran wafat ketika masih berdinas aktif sebagai Kepala Kepolisian (Kapolres) Kulonprogo di ahun 1974.

Dengan demikian, di awal 1970-an itu, di usia 6 (enam) tahun, Wurry sudah menjadi anak yatim. Keluarga tersebut waktu itu tinggal di dua kota, Yogyakarta dan Wates. Jika hari Sabtu-Minggu berada di Wates. Selanjutnya, pada hari kerja, berada di kompleks perumahan perwira polisi, Balapan, Yogyakarta.

Nama sang ayah diabadikan menjadi nama panggungnya, Wuri Moedjiran. Setelah menikah dengan Hendrik Schreuder, yang karib dipanggil dengan nama Oene, selanjutnya dia lebih dikenal dengan nama Wurry Oene, hingga saat ini.

Aneka lomba

Menurut ibu seorang putra ini, dirinya sudah mengikuti festival pop children di usia 9 (sembilan) tahun. “Waktu itu suara saya masih polos, belum punya vibrasi. Saya dilatih kakak bagaimana harus tampil menyanyi di dalam lomba,” ujarnya suatu sore di rumahnya. Aktif mengikuti lomba menyanyi terus dilakukan sampai dia dewasa, bahkan hingga masa kuliah, akhir 1980-an. Ketika terjadi tren lomba karaoke pun, dia selalu ikut dan pasti menjadi juara.

Hadiah berlimpah. Mulai tiket pesawat, pemutar cakram digital yang waktu itu masih mahal dan sebagainya. Pernah ikut lomba karaoke, mulai dari tingkat Yogya, menang dan naik ke tingkat lebih luas di Semarang kemudian di tingkat nasional di Jakarta. Tapi di Jakarta, dia dikalahkan peserta lain.

Sejak kecil sang kakak dengan telaten membimbingnya. Termasuk kemampuannya bermain gitar. Pengaruh keluarga pecinta musik ini sangat besar menyusup dalam darah seorang Wurry. Ketika menjadi pelajar SMA Santo thomas Yogyakarta, medio 1980, dia mendirikan sebuah grup band perempuan.

“Semua pemain perempuan. Gurunya juga kakak saya, Mas Totok. Kalau urusan olah vokal, kakak yang lain, Mas Bin, yang membimbing,” tutur penggemar minuman es ini. Dua kakak lelakinya itu membimbing dengan tekun dan penuh rasa cinta, tapi juga mengedepankan disiplin.

Sedangkan sang Ibu, secara khusus mengajari langsung terutama bagaimana menyanyi keroncong, meliputi teknik, memahami notasi, cengkok, dan sebagainya, yang tentu saja berbeda dengan lagu pop. Keluarga ini juga mendirikan sebuah grup band, bernama Moed Bersaudara. Kala itu sering tampil di stasiun televisi lokal, dalam beberapa pementasan dan aneka event. Tak berlebihan jika disebut, bakat musikalnya tumbuh dalam didikan ibu dan lingkungan keluarga.

Ketika duduk sebagai siswa SMP, Wurry mengikuti Bintang Radio Televisi (BRTV) Remaja. Waktu itu dia perserta termuda. Beberapa kali menyabet juara. Baik juara pertama maupun juara umum. Atas prestasi dan pengalaman itu, selama beberapa tahun dia didhapuk menjadi juri setiap BRTV digelar. Ajang lomba itu bahkan mampu mencetak beberapa penyanyi dan grup terkenal.

Profesional

Seiring waktu berjalan, di tahun 1986, mulai aktif bernyanyi secara profesional pada beberapa kafe di Yogyakarta. Karena merasa tidak lagi nyaman dengan suasana kafe, empat tahun kemudian, 1990, ia kemudian tampil di beberapa hotel. Dia masih ingat, kali pertama perform di hotel Mutiara, Malioboro. Sebagai penyanyi profesional, maka harus menguasai semua genre lagu.

Dalam perjalanan profesionalnya, orang yang menemukan bakar dan suara emasnya itu adalah Angky Laurens, yang lebih dikenal sebagai seorang rocker, pentolan band Ambisi Yogyakarta. Maka dengan polesan dan didikan Angky, Wurry makin berkibar di kancah dunia musik Yogyakarta.

“Saya selalu bernyanyi di hotel berbintang. Audiens hotel berbeda dengan kafe. Maka saya harus mempelajari kondisi itu,” ujarnya.

Dituturkan, kala itu masih zaman susah. Belum era digital. Maka harus rajin mencatat lagu, menghafal, dan berlatih membawakannya. Beda dengan sekarang yang tinggal membuka gadget, perangkat digital.

Menuturkan pengalaman yang paling mengesankan tampil di hotel, Wurry berujar, kali pertama memang merasa ngeri juga. “Kan banyak bule, di sana,” ujarnya. Selain itu, ini yang mengesankan, “Jika di kafe tidak mendapat uang tip, tapi di hotel kaget, kok mendapat tip?”.

Seingatnya, paling lama dia tampil di hotel Sahid dan hotel Quality. Bahkan sampai belasan tahun di sana. Dengan pengalaman itu, tak lagi asing bagaimana ketika harus tampil di lobby hotel, atau di restoran. Kemudian malam hari harus di bar hotel. Boleh dikatakan pada waktu itu hidupnya berada di hotel, mengekspresikan diri dengan kemampuannya bernyanyi sekaligus menghibur audiens.

Berpindah dari hotel ke hotel. Semua dilakukan secara profesional dan bertanggung jawab. “Maklum, waktu itu saya masih muda, masih kuat. Dan tentu saja belum menikah.” Tak jarang, pada pesta malam tahun baru, misalnya, dia bisa tampil pada dua atau tiga tempat show sekaligus. Akibatnya pernah pula stress di jalanan. Melihat kondisi sekarang, memang sudah jauh berbeda. Persaingan makin sengit dan sudah banyak muncul para penyanyi muda.

Suara jazzy

Sejak duduk di bangku kuliah, Jurusan Bahasa Indonesia, IKIP Neegeri Yogyakarta, Wurry banyak dikenal sebagai penyanyi dengan suara jazzy, Dia menetapkan genre jazz, karena sering mengikuti pentas yang digawangi oleh tokoh jazz di Yogya. Sebut saja Anton Samuri, Piet Tompo dan Josias. Mereka adalah pemain profesional, lulusan jurusan musik ISI Yogyakarta.

Merekalah orang-orang yang mempengaruhi Wurry. Karenanya dia punya lagu favorit, Girl from Ipanema, sebuah lagu bosanova karya Antonio Carlos Jobim. Lagu itu menjadi hits di tahun 1960-an, memenangi Grammy Award 1965. Ditulis 1962, lirik asli oleh Vinicius de Moraes dalam bahasa Portugis dan versi Inggris oleh Norman Gimbel. Kadang-kadang dibawakan oleh penyanyi perempuan sebagai The Boy from Ipanema.

Wurry menyukai lagu itu, karena tidak semua orang mampu menyanyikannya dengan fasih. Sampai sekarang dia masih sering membawakannya di berbagai kesempatan, Pernah pula karena ciri khas suara yang dimilikinya, Wurry mendapat sebutan sebagai Whitney Houston-nya Yogya atau Salena Jones. Dua orang itu adalah kampiun penyanyi jazz dunia.

Dengan ciri suara jazzy, Wurry dikenal mampu berada dalam nada rendah, nada tinggi, bahkan dengan suara falsetto pun bisa. Beberapa tahun dia tampil di Ambarrukmo Plaza dengan grup Trio Centro, terdiri pemain saksofon dan piano, membawakan seluruhnya lagu-lagu easy listening jazz.

Mengantongi banyak pengalaman, dan fasih membawakan lagu jazz, Wurry pernah pula beberapa kali tampil di sebuah jazz klub di kota Maastricht, Belanda. Mengapa di Belanda? Ya, karena waktu itu, sang suami tercinta sedang ”mudik” bersama Wurry dan putra tunggalnya.

Untuk bisa mendapatkan kesempatan tampil di klub jazz Maastricht itu, tentu tidak mudah. Harus mendaftar lebih dulu. Maka, di panggung itu dia membawakan standard jazz. “Ya enak saja, karena saya sudah biasa,” tuturnya. Dia sangat terkesan, karena waktu itu sampai mendapat standing ovation dari para hadirin.

Mereka banyak bertanya dari mana asal dirinya. Pentas jazz itu digelar dengan suasana santai, tidak formal, tapi skill dan sikap tetap mengedepankan profesionalitas. “Mendapatkan tepuk tangan di negara lain, rasanya exited sekali,” tambahnya. Selain di Maastricht klub jazz, Wurry juga beberapa kali tampil di arena Pasar Tong-Tong, di kota Alkmaar, Belanda.

Kini, Wurry sudah jarang tampil di luar Yogya. Tidak lagi seperti dulu yang bisa tampil di panggung beberapa kota, Jakarta, Surabaya, Palembang Surabaya dan lainnya. Menyikapi kondisi sekarang, dia berpendapat, memang sudah berbeda. Jika dulu orang datang untuk santai mendengarkan musik di karfe, sekarang mereka sibuk sendiri bermain gadget.

Tidak fokus mendengarkan musik dan penyanyi. Kondisi dulu, karena experience yang dimilikinya, menjadikan seorang penyanyi bertumbuh menjadi besar. Pengorbanan dan cara belajar seorang penyanyi zaman dulu pun sangat berat. Tidak semudah sekarang. Masa itu, dituntut harus mendengarkan tangga lagu. Mencatat. Banyak effort yang harus dilakukan untuk bisa memahami sebuah lagu. Sekarang, tinggal pencet hape saja, segala urusan selesai dengan mudah.

Selain itu, persaingan saat ini juga lebih berat. Karena banyak muncul penyanyi baru. “Kadang ada yang banting harga dan itu merusak. Bahkan persaingan dengan jegal menjegal. Meski tidak semua. Tapi itu ada,” jelas Wurry.

Sejak pandemi melanda 18 bulan terakhir, untuk sementara Wurry berhenti pentas. Tapi, ia masih tetap menyanyi, misalnya di studio televisi, dan beberapa acara. Termasuk merekam di kanal You Tube, juga dilakukan.

Sebagai penyanyi profesional Wurry aktif di organisasi “Kumpulan Penyanyi dan Artis Panggung Yogya” (Kampayo). Selain itu juga di organisasi “Cah Nyanyi”, yakni anak2 muda yang masih bergerak, berpentas, Di organisasi “Cah Nyanyi”, Wurry sebagai sesepuh.

Ia menyadari, penyanyi dulu dan sekarang berbeda. Tantangan berbeda. Berbagi resep kepad apara penyanyi, Wurry bertutur, jadilah penyanyi yang benar-benar mengandalkan suara. Karena bernyanyi adalah olah seni suara. Sedangkan performance menunjang.

Tapi, suara harus nomor satu. Untuk itu perlu latihan terus menerus secara konsisten. “Memang, saya tidak ideal untuk dicontoh. Saya minum es, makan gorengan, tapi tidak merokok dan minum minuman beralkohol.” Dia mengakui punya kelemahan tidak banyak bisa menghafal syair lagu. Mungkin karena usia yang sudah bertambah.

Maka suara harus diandalkan. Mempelajari semua lagu dan bisa menjiwainya. Hari-harinya kini dihabiskan bersama keluarga. Sering diminta menjadi juri festival. Masih aktif sebagai pelatih vokal, termasuk melatih pada grup paduan suara (koor), Satu Indonesia Voice. Pentas reguler masih ada di Royal Ammbarukmo. Tapi karena pandemi, sementara berhenti.

Talenta bermusik yang dimilikinya, ternyata tidak menurun pada putranya. Tapi, sang suami, Oene, menyukai musik. Selalu memberi support di mana pun Wurry pentas. Hendrick Schreuder adalah ahli di bidang pendidikan, warga negeri Belanda yang sudah puluhan tahun bertinggal di Yogyakarta dan memiliki KITAP, kartu izin tinggal tetap yang diperpanjang setiap lima tahun. Oene berhobi melukis dan mengoleksi lukisan.

Kali pertama bertemu Wurry, sudah kesengsem dengan suara putri Yogyakarta itu. Lagu favorit yang selalu diminta pada Wurry adalah Love me Tender.

Sejak pertama bertemu dengan Wurry, maka Oene memutuskan memperpanjang kunjungan kerja di Yogya hingga 2 (dua) bulan, dari semula hanya tiga (tiga) hari. Semua demi Wurry. Mereka berpacaran selama 7 (tujuh) bulan, kemudian bersepakat menjalin mahligai perkawinan, berlangsung langgeng hingga kini, sudah lebih 20 tahun. Keluarga bahagia itu sekarang tinggal di Puri Timoho Asri 16. Yogyakarta. (awd – Yogyakarta 5 Oktober 2021)

Suami istri Oene Schreuder dan Wurry Oene menyanyikan lagu Panyuwunan dari rumahnya di kampung Baciro, Yogyakarta. Wurry Oene menyanyikan dan kemudian suaminya menterjemahkan sekalligus ikut membacakannya syair tersebut dalam bahasa Belanda. Sebuah kiriman video yang sangat menarik. Kami berterima kasih untuk kebaikan ini.

Tembang Panyuwunan terjemahan dari Oene Schreuder kedalam bahasa Belanda.

🇮🇩 PANYUWUNAN 🇳🇱

O Heer, wij bidden U heel ons: geneze onze ziel, en louter onze harten.

O Heer de mens bidt om heling, herleving in de ziel, en ook het lijf

O Heer, maak onze harte blij en zonder zorg, en hoed ons voor boos verdriet.

O Heer, wij smeken om geduld , volharding in de geest , en verrijke wijsheid.

🔴 PANYUWUNAN©️

Syari : DR. Kuntara Wiryamartana, SJ
Composer : Dimawan Krisnowo Adji
Music & arr : Giwang Topo
Vocal : Wurry Oene
Translator & Poetry Reader : Oene Schreuder
Video : Menyus.

🔛 Facebook : https://www.facebook.com/wurry.oene
🔛 Instagram : @wurryoene

🔴 SRADDHA JALAN MULIA ART PROJECT©️

🔴 Founder & Producer : Dr. G. Budi Subanar

🔴 Co-Founder & Creative Director : Samuel Indratma

🔴 Music Director : Dimawan Krisnowo Adji
https://m.youtube.com/channel/UCdVChX…

🔴 Art Director :
Giwang Topo
https://m.youtube.com/user/giwangtopo

🔴 Website : https://sraddha.net/
🔴 Instagram :@sraddhaartproject
🔴 Youtube : https://www.youtube.com/c/SraddhaJalanMuliaArtProject/