Sepanjang Trotoar Malioboro yang Syahdu Dubidu Bidu

Malioboro

Sepanjang Trotoar Malioboro

Pertama datang ke Yogyakarta bertahun-tahun yang lalu aku melihat Malioboro itu memang unik. Ada pedagang kaki lima di jantung kota yang hidup bersama toko-toko besar, sementara pemerintah dan masyarakatnya enjoy dengan keadaan itu.

Di kota-kota lain, mana mungkin pedagang kaki lima bisa hadir di jalan-jalan utama yang merupakan etalase kota, kantor gubernur dan gedung DPRD juga ada di jalan itu, tapi di Jogja itu malah jadi daya tarik.

Di persimpangan langkahku terhenti

Ramai kaki lima

Menjajakan sajian khas berselera

Orang duduk bersila

Musisi jalanan mulai beraksi

Seiring laraku kehilanganmu

Merintih sendiri

Ditelan deru kotamu ….

(Lirik Lagu Yogyakarta – KLa Project)

Toko-toko dan pedagang kaki lima

Para pengunjung suka berjalan-jalan di trotoar Malioboro karena senang melihat-lihat pernak-pernik yang dipajang pedagang kaki lima. Kalau mereka tertarik, mereka akan tawar-menawar. Jika mereka berniat mencari barang-barang pabrikan, para pejalan kaki itu dengan mudah masuk ke toko-toko yang ada di situ. Artinya toko-toko dan pedagang kaki lima hidup bersama dan berbagi lokasi. Itu juga menyimbolkan bagaimana Yogyakarta memberi ruang yang sepadan bagi orang kecil maupun yang (agak) besar. Rasanya itu model pengelolaan kota yang “heritage” sekali, khas Yogyakarta.

Itulah kesanku dahulu, ketika pertama kali tiba di Yogyakarta bertahun-tahun yang lalu. Saat ini PKL sedang direlokasi. Mereka tidak lagi bisa menempati trotoar karena sudah disediakan tempat yang lokasinya masih di kawasan tersebut. Bulan Juni nanti tim Unesco akan datang untuk verifikasi usulan Malioboro sebagai heritage dunia. “Jangan sampai ini jadi temuan” kata Sri Sultan (mojok. co). Pedagang Kali Lima jelas bukan bagian dari proyek heritage itu. Kalau pedagang besar dan pengusaha sih pasti.