Membaca Media dengan Nalar Jembar
Tahun lalu media ramai memberitakan petani di Tuban yang jadi milyarder karena mendapat uang gusuran dari proyek Pertamina. Disebutkan uang hasil gusuran itu dipakai untuk membeli banyak mobil baru. Baru-baru ini media memberitakan bahwa para petani tersebut menyesal telah menjual tanahnya. Disebutkan “petani milyarder” itu kini mulai kesulitan secara ekonomi. Mereka malah menuntut pertanggungjawaban Pertamina.
Benarkah berita itu? Mari kita telusuri.
Rata-rata petani di Jawa memiliki tanah tidak lebih dari seperempat hektar. Sebagian petani malah tidak punya tanah sama sekali, maka mereka menjadi buruh tani. Hanya sebagian kecil petani yang punya tanah lebih luas dari rata-rata.
Ketika ada gusuran Pertamina maka yang diuntungkan adalah petani dari golongan bertanah luas. Mereka ini sejak awal bukan golongan petani miskin. Minimal tidak miskin-miskin amat. Setelah digusur mereka jadi tambah kaya dan jor-joran membeli mobil.
Sedangkan petani yang berlahan sempit hanya mampu membeli satu dua ekor sapi dari uang hasil gusuran. Sebelum gusuran mereka tidak kaya, setelah gusuran juga tidak menjadi kaya raya.
Sementara itu para buruh tani, oleh karena tidak punya tanah ya tidak dapat apa-apa. Mereka malah kehilangan mata pencarian karena tidak ada lagi lahan garapan. Kelompok ini yang paling dirugikan dari proyek gusuran tersebut. Pihak Pertamina menjanjikan pekerjaan pada para buruh tani itu jika proyek tersebut sudah berjalan. .
Di sini tampak media membuat dua kesalahan.
Pertama, media mengjenderalisir seolah semua petani yang digusur itu menjadi milyarder. Media mengabaikan fakta bahwa justru sebagian besar (buruh) petani telah kehilangan pekerjaan.
Kedua, media membuat narasi bahwa para para petani itu berperilaku gagap sebagai orang kaya baru. Mereka boros dan tidak punya perencanaan keuangan. Media mengaburkannya fakta, sekali gus menyudutkan para petani kecil dan buruh tani yang menagih janji Pertamina.
Kita memang sulit mengharapkan media memberitakan suatu kejadian secara objektif dan terang-benderang. Kitalah yang harus memiliki nalar jembar untuk memahami semua itu. Karena mereka punya kepentingan sendiri.
SERIAL NALAR JEMBAR By Sraddha Jalan Mulia Art Project